Sunday, 1 November 2015

Isi dan Sifat Kaedah Hukum

Hallo sobat Gudang Ilmu, pada kesempatan kali ini saya akan memposting menengenai "Isi dan Sifat Kaedah Hukum". Apabila ditinjau dari sudut isinya, maka dapatlah dikenal adanya tiga macam kaedah hukum, yaitu:
1. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan ("gebod"),
2. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan larangan ("verbod),
3. Kaedah-kaedah hukum yang berisikan kebolehan ("mogen").


Contoh dari kaedah hukum yang berisikan suruhan dan bersal dari bidang hukum tantra adalah, misalnya, pasal 22 ayat 1,2 dan 3 Undang-undang Dasar 1945, yang isinya adalah sebagai berikut:
"1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapka peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
 2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalm persidangan yang berikut.
 3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut."

Contoh lainnya adalah di bidang hukum perdata, misalnya, pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pasal 8 dari undang-undang yang sama secara tegas berisikan larangan, oleh karena didalam pasal tersebut dinyatakan, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang (Hazairin, 1975) :
 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas,
 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara serang dengan saudara neneknya,
 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri,
 4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan,
 5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari satu,
 6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Contoh dari kaedah hukum yang berisikan kebolehan, antara lain, dapat dijumpai pada pasal 29 ayat 1 dari undang-undang yang sama. Pasal tersebut menyatakan, bahwa fihak-fihak yang menikah dapat mengadakan, perjanjian tertulis pada waktu atau seblum perkawinan dilangsungkan, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Mengenai sifat kaedah hukumdapatlah dibedakan antara :
 1. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat imperatif,
 2. Kaedah-kaedah hukum yang bersifat fakultatif.

Apabila isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifat kaedah hukum, maka kedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan adalah imperatif; sedangkan keadah hukum yang berisikan kebolehan adalah fakultatif.

Yang dimaksudkan dengan kaedah-kaedah hukum imperatif, adalah kaedah-kaedah hukum yang secara a priori harus ditaati. Artinya, apabila seorang hendak melakukan perbuatan X, maka tidak boleh tidak dia harus mentaati kaedah-kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan X; kaedah hukum tersebut adalah imperatif untuk perbuatan X. Dengan demikian, maka kaedah hukum imperatif merupakan kaedah yang didalam suatu keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Misalnya, didalam pasal 1334 ayat 2 B.W. (KUH Perdata) dinyatakan, bahwa seorang ahli waris tidak dapat menolak bagian dari harta waris yang akan diterimanya sebelum harta tersebut dibagi antara semua ahli waris. Apabila hal itu terjadi sebelum pewaris meninggal atau sebelum pembahagian harta waris berlangsung, maka penolakan tersebut tidka dapat diakui sebagai suatu perbuatan yang sah, walaupun dengan izin pewaris (W.A. Engelbrecht, 1960).

Kaedah-kaedah hukum fakultatif tidaklah secara a priori mengikat atau wajib dipatuhi. Artinya, kalau hendak melakukan perbuatan Y, maka boleh mentaati atau tidak mentaati kaedah-kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan Y; kaedah hukum sedemikian adalah fakultatif bagi perbuatan Y. Arti tidak mentaati kaedah-kaedah hukum fakultatif adalah, apabila menciptakan sendiri kaedah-kaedah hukum yang bermaksud untuk mengatur perbuatan Y tersebut. Kaedah hukum tersebut merupakan kaedah individuil, yang hanya mengikat para fihak. Kecuali itu, maka secara a priori tidak mengikat juga berarti, bahwa apabila orang-orag yang melakukan perbuatan-perbuatan Y tersebut sebelumnya tidak menciptakan kaedah-kaedah hukum sendiri, maka kaedah-kaedah hukum fakultatif tersebut akan berlaku bagi mereka. Dengan demikian, maka kaedah hukum fakultatif adalah kaedah hukum yang didalam keadaan konkrit dpaat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para fihak.

Biasanya untuk kaedah-kaedah hukum imperatif dipergunakan istilah hukum memaksa ("dwingendrecht"), sedangkan untuk kaedah-kaedah hukum fakultatif dipakai istilah hukum mengatur atau hukum menambah ("regelend-recht"; "aanvullend-recht"; W.L G. Lemaire 1955).

Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak dengan tepat menggambarkan apa yang dimaksudkan, oleh karena antara lain, setiap kaedah hukum dapat bersifat sekaligus memaksa dan mengatur (L.J. Van Apeldoorn 1966). Oleh karena itu, maka dipergunakanlah istilah-istilah kaedah hukum imperatif dan kaedah hukum fakultatif.

Sehubungan dengan pembedaan antara kaedah-kaedah hukum yang imperatif dan yang fakultatif, maka mungkin akan timbul masalah, apakah yang diartikan dengan istilah normatif? istilah normatif seringkali dipakai sebagai sinonim dari kata imperatif atau secara a priori memaksa. Akan tetapi hal itu tidaklah tepat, oleh karena normatif berasal dari kata norm, yang berarti memberikan patokan atau pedoman. Apakah patokan atau pedoman tersebut harus ditaati secara a priori atau tidak, senantiasa tergantung pada sifatnya, yaitu apakah kaedah hukum itu imperatif ataukah fakultatif.


Sekian postingan dari saya, semoga bermanfaat ;)

No comments:

Post a Comment