Pengertian,
Tujuan, Fungsi, dan Sumber Hukum Acara Perdata
a.
Pengertian Hukum Acara
Perdata
Pengertian hukum acara perdata menurut
pendapat para ahli sebagai berikut :
1.
Abdul Kadir
Muhammad
Hukum Acara Perdata
adalah peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui
pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan
hakim.[1]
2. Wirjono Projodikoro
Hukum Acara Perdata
adalah rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[2]
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[2]
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara
Perdata adalah :
-
Peraturan hukum
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil
dengan perantaraan hakim.
-
Hukum yang
mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa sera memutusnya
dan pelaksanan daripada putusannya.[3]
4. Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata
adalah Kesemua kaidah hukum yang menentukan
dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.[4]
Jadi, Hukum Acara
Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara beracara perdata di
pengadilan dengan proses yang diawali dengan diajukannya gugatan hingga
pelaksanaan putusan hakim demi menjamin terwujud dan ditaatinya hukum perdata
materiil menjadi kenyataan.
b. Tujuan Hukum Acara Perdata
1.
Mencegah jangan
terjadi main hakim sendiri (eigenrichtig)
2.
Mempertahanakan
hukum perdata materiil
3. Menjamin dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
Sehingga setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan
sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut melalui
pengadilan.
c. Fungsi Hukum Acara Perdata
Fungsi hukum acara perdata yaitu mencegah
terjadinya eigenrichting, sehingga tuntutan hukum harus sesuai dengan prosedur
(due process of law).
Pada zaman
Hindia Belanda:
a.
(RV) Reglement op
de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat R.V (Stb 1847 No. 52 dan Stb 1849 No.
63). Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa (pedoman jika diperlukan) (reglement
op de Burgerlijk Rechtsvordering)=== golongan Eropa
b. HIR (Herzeine Indlandsch Reglement)===golongan
Bumiputera daerah Jawa dan Madura
c. RBg (Reglement voor de Buitengewesten)===
golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura.
Saat
Ini:
a. Het Herziene Indonesisch Reglement, disingkat
H.I.R atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbaharui, disingkat
(R.I.B) Stb. 1941 No. 44. ketentuan ini berlaku untuk pengadilan di daerah Jawa
dan Madura.
b. Rechtsreglement Buitengewesten, disingkat R.
Bg atau Reglement untuk daerah seberang disingkat R.D.S Stb 1927 No.227.
ketentuan ini berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura
c. Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ttg pembuktian dan daluarsa
d. Wetboek
van koop Handel en Faillissements Verordening (WvK), Kitab Undang-undang Hukum
Dagang dan Kepailitan.
e. UU No.
20 Tahun 1947, ketentuan yang mengatur tentang
upaya banding untuk daerah jawa dan Madura.
f.
UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan yang mengatur tentang
upaya banding untuk daerah Jawa dan Madura.
g. UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9
tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya.
h. UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang sudah dirubah denhan
UU No. 5 tahun 2004 tentang MA.
i.
UU No 4 Tahun
2004 tentang Pokok Kehakiman
j.
UU No 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung
k. Yurisprudensi.
l.
SEMA
m. Hukum Adat
n. Doktrin
Perancang
H.I.R. adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846
di Batavia, yaitu Jhr. Mr. H.L. Wichers. Karena beliau diberi tugas
merencanakan sebuah Reglement tentang administrasi polisi, acara perdata, dan
acara pidana bagi golongan Indonesia oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen
tepatnya pada 5 Desember 1846.
Tahun 1847
rancangan selesai dibuat, tetapi J.J. Rochussen mengajukan keberatan yaitu pada
Pasal 432 ayat (2) yang membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata
untuk golongan Bumiputera menggunakan hukum acara perdata diperuntukkan untuk
golongan Eropa. Rancangan itu terlalu sederhana karena tidak dimasukkannya
lembaga-lembaga intervensi, kumulasi gugatan,
penjaminan dan rekes civil. Akhirnya ditambahkan suau ketentuan penutup yang
bersifat umum yang kini menjadi pasal 393 H.I.R. yang termuat dalam bab ke 15.
Sebelum tanggal 5
April 1848 hukum acara perdata yang digunakan di pengadilan Gubernemen bagi
golongan Bumiputera untuk kota-kota besar di Jawa adalah BrV (hukum acara bagi golongan Eropa). Untuk luar
kota-kota besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819-20.
Pada tanggal 5 April 1948, rancangan winchers diterima oleh gubernur
Jenderal dan diumumkan dengan Stbl. 1848 No. 16 dengan sebutan Het Inlands
Reglement (I.R.) dan mulai berlaku pada tanggala 1 Mei 1848.
Setelah melakukan
perubahan dan penambahan maka rancangan itu ditetapkan dengan nama Inlandsch
Reglement (IR) yang ditetapak dengan Stb 1848-16 dan disahkan dengan firman
Raja No. 93 pada tanggal 29
September 1849 dengan Stb 1849-63. Oleh karena pengesahan ini, sifat H.I.R. menjadi
Koninklijk besluit.
Tahun 1927
diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yaitu
hukum acara perdata bagi golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura. Sebelumnya
berlaku peraturan tentang susunan Kehakiman dan kebijaksanaan Pengadilan berupa
Stb 1847 -23.
Pada Tahun 1941
terjadi perubahan nama I.R. menjadi HIR
(Herzeine Indlansch Reglement) dengan Stb
1941-44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Pada saat ini dengan Pasal 1 UUD
1945 yang telah diamandemen, HIr dan RBg
masih berlaku sampai saat ini. Setelah negara Indonesia merdeka dengan terjemahan
H.I.R. yang telah dilakukan, maka H.I.R. disebut juga R.I.B. (Reglemen
Indonesia Baru).
1. Hakim Bersifat Menunggu
Prakarsa untuk mengajukan gugatan atau
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi kalau tidak
ada tuntutan hak atau gugatan, maka tidak ada pengadilan perdata. Sehingga
hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
2. Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat
pasif, di mana ruang lingkup/hal pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan
bukan oleh hakim.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. karena hakim selaku pemimpin sidang harus aktif, memimpin pemeriksaan perkara.
3. Sifat Persidangan Yang Terbuka
Sidang pemeriksaan pengadilan pada
asasnya terbuka untuk umum, bahwa setiap orang dapat hadir dan mendengarkan
pemeriksaan dipersidangan. Bilamana hakim lupa mengucapkan sidang terbuka untuk
umum mengakibatkan putusan batal demi hukum. kecuali undang-undang menentukan
lain persidangan dapat dilakukan dalam pintu tertutup.
4. Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Dalam hukum acara perdata kedua belah
pihak wajib diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama.
5. Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat
alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan yang dimaksud itu adalah sebagai
pertanggungjawaban hukum kepada rakyat, karena itu memiliki nilai obyektif.
6. Berperkara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara perdata dikenakan
biaya. Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara
dengan cuma-cuma.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
RIB tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi
secara langsung di hadapan para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya jika dikehendakinya.
------, UUD 1945 dan Amandemen, Fokusmedia,
Bandung, 2009.
------, UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman, 2009.
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta,1988.
Retno
Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,
2009.
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta,
1994.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982.
R.
Tresna, Komentar HIR, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2005.
Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata
Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.
[2] Wirjono Projodikoro, Hukum Acara di Indonesia, Sumur Bandung,
Bandung, 1992.
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta,1998, hlm.2.
[4] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 1.
[5] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.7
[6] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, op.cit., hlm. 7
[7] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 10.
No comments:
Post a Comment