Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi
pengetahuan mengenai mata kuliah hukum perikatan. Hukum perikatan ini sendiri
merupakan mata kuliah yang sangat disegani di kampus saya, bukan karena mata
kuliahnya melainkan karena dosennya :v sangat sulit untuk mendapatkan nilai B
apalagi A pada mata kuliah ini di kampus saya karena dosen pengajar mata kuliah
ini sangat menuntut keseriusan belajar serta pemahaman mahasiswa dalam terhadap
materi-materi yang telah diberikan pada semester sebelumnya yang mempunyai
kaitan dengan mata kuliah hukum perikatan ini. Baiklah tidak usah panjang
lebar, langsung saja masuk pada materinya, cekidootttt...
Dalam buku III KUH Perdata mempergunakan judul
tentang Perikatan, namun tidak ada satu pasal pun yang menerangkan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Menurut sejarahnya “VERBINTENIS”
berasal dari kata perkataan Perancis “Obligation” yang terdapat dalam code
civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan
“Obligato” yang terdapat dalam hukum Romawi Corpus Iuris Civilis, dimana
penjelasannya terdapat dalam Institutiones Justianus.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu, dan juga merupakan suatu hubungan hukum antara dua orang misalkan
A berhak menuntut sesuatu kepada B dan B berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Pihak yang menuntut tersebut bisa disebut Kreditor dan Pihak yang wajib
memenuhi tuntutan menuntut bisa disebut Debitor. Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber penting yang melahirkan
perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu
perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber
lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan
yang lahir dari undang-undang.
Sumber-sumber yang tercakup dalam satu nama, yaitu
undang-undang, diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang saja, dengan
undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir
ini diperinci pula, yaitu dibedakan anatara perbuatan melawan hukum.
Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam
KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga yang terjadi di
Negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya. Perbuatan Melawan
Hukum disini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum dalam bidang
keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau
yang disebut dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai, Konotasi dan
pengaturan hukum yang berbeda sama sekali. Demikian juga dengan perbuatan
melawan hukum oleh penguasa Negara atau yang disebut dengan “onrecht matige
overheidsdaad”juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan hukum yang juga
berbeda.
Perjanjian merupakan hal yang selalu terjadi dalam
praktek peralihan hak atas tanah yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini suatu perjanjian dapat dibuat oleh para pihak yang akan membuat
suatu perjanjian, menentukan suatu perjanjian itu sesuai dengan kesepakatan
yang mereka sepakati secara bersamaan. Berbeda dengan Hukum Benda mempunyai
suatu sistem yang tertutup, sedangkan sistem perjanjian menganut sistem yang
terbuka, artinya bahwa sistem tertutup adalah bahwa peraturan-peraturannya terbatas
pada ketentuan mengenai benda sehingga bersifat memaksa, sedangkan perjanjian
memberikan kebebasan untuk membuat bentuk perjanjian.
Mengingat bahwa perjanjian memiliki sifat yang
terbuka, sehingga pihak yang bermaksud untuk membuat suatu perjanjian dapat
membuat perjanjian sesuai dengan keinginan yang mereka kehendaki bersama dan
perjanjian tersebut dengan sendirinya akan menjadi undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, asalkan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan norma-norma
sebagai peraturan yang hidup di dalam masyarakat. Hal tentang perjanjian dan
pembatasan-pembatasannya telah diatur dalam buku III KUH Perdata dalam Pasal
1338 ayat (1) yang berbunyi “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
masyarakat dapat membuat suatu perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan
perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu
undang-undang. Dalam hukum perjanjian dikenal juga mengenai asas konsensualitas
yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah sejak diawali kesepakatan kedua
belah pihak untuk membuat suatu perjanjian. Asas tersebut diatur dalam pasal 1320
KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian harus memiliki 4 unsur
yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu perjanjian, 2. Cakap untuk membuat suatu
perjanjian, 3. Adanya objek tertentu, dan yang terakhir 4. Suatu sebab yang
halal, syarat nomor 1 dan nomor 2 merupakan syarat subyektif yang jika tidak
dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat nomor 3 dan 4
adalah syarat obyektif yang jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi
hukum.
Jual beli (menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu
(penjual) berjanjia untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan
pihak yang lain (pembeli) berjanjia untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Perkataan jual beli menunjukan bahwa dari satu pihak
perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli.
Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai
dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa
pihak yang satu ”Verkoopt” (menjual) Sedang yang lainnya ”koopt” (membeli).
Dalam bahasa Inggris jual beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti
“penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa
perancis disebut hanya dengan ”Vente” yang juga berarti penjualan, sedangkan
dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan ”Kauf” yang berarti pembelian. Barang
yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya
dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya
kepada si pembeli.
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli
adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum
perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu sudah
dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu
kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah
setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan
dalam pasal 1458 yang berbunyi Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua
belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Konsensualisme berasal dari perkataan “Konsensus”
yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara
pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak artinya apa
yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.
Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini
dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan,
misalnya setuju dan sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda
(bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas
tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah
juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah sama,
sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah
sama dalam kebalikannya. Misalnya yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas
suatu baran asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang
lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan
sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si pemilik barang.
Sebagaimana kita ketahui hukum perjanjian dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum
perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu menganut suatu asas bahwa
untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu
sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus sebagaimana
dimaksud diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat,
bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya.
Sudah jelas kiranya bahwa asas konsensualisme itu
harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari
pasal yang terakhir ini lazimnnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum
perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya atau dianutnya
sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid).
Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan
“semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1)
itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatknya undang-undang.pembatasan
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan
kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun
kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang
disimpan didalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak
mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia
dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat
menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu
pihak-pihak yang menawarkan (melakuakan offerte) maupun oleh pihak yang
menerima penawaran tersebut.
Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur
tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan
yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas
konsensus. Kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah
dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan
kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa
yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah
membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi
kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kehendak kepadanya.
Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak
merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik diantara
mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang
melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu
ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para
sarjana dan oleh yurisprudensi.
Oleh karena itu maka sudah tepat bahwa adanya
perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan-pernyataan yang
secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan
sebenarnya sering dikonstruksikan oleh hakim. Berdasarkan pernyataan-pernyataan
bertimbal balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus
melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat
itu dianggap ada, maka hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah
disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban
para pihak.
Asas konsensualisme yang terkandung dalam pasal 1320
dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1 tampak jelas pula dari perumusan-perumusan
berbagai macam perjanjian . kalau kita ambil perjanjian yang utama yaitu jual beli,
maka konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusan dalam pasal 1458 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi Jual beli dianggap sudah terjadi
antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang
barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar.
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk
dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam yaitu :
Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu
barang (misalnya Jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam
pakai);
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (misalnya
perjanjian untuk membuat suatu bangunan, dan lain sebagainya);
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (misalnya
perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan; dan lain sebagainya);
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu
menyerahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan dan menanggung
kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat
yang tersembunyi.
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala
perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang
yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada pembeli.
Oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga
macam barang yaitu barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga ada tiga macam penyerahan hak
milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam penyerahan barang
itu.
Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan
kekuasaan atas barang itu, hal ini diatur dalam pasal 612 yang berbunyi sebagai
berikut penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik,
atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu
berada.
Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan
yang dinamakan balik nama menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620,
pasal-pasal mana berbunyi sebagai berikut. Pasal 616 penyerahan atau penunjukan
akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang
bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal
620. Pasal 620 dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal
yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah
salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan
ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak
bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukan dalam register.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang
berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan
otentik yang kedua atau petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan
mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang
bersangkutan.
Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai tanah
dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku I Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut sudah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria
(Undang-undang Nomor 5 tahun 1960).
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 1961 yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria dan kemudian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang menentukan bahwa Jual Beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan
“Cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak
bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah
tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada
akibat melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis
disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa
dilakukan dengan penyerahan surat itu, Penyerahan tiap-tiap piutang karena
surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan Surat disertai dengan endosemen.
Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga
pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.
Harga tersebut harus berupa sejumlah uang meskipun mengenai hal ini tidak
ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya
termaktub didalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga
itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjian menjadi “tukar menukar”
atau kalau harga itu berupa suatu jasa, perjanjian akan menjadi suatu
perjanjian kerja dan begitu seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah
termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.
Tentang macamnya uang dapat diterangkan bahwa meskipun jual beli itu terjadi di
Indonesia, tidak diharuskan bahwa harganya itu ditetapkan dalam mata uang
rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkan dalam mata uang
apa saja.
Dalam hukum perjanjian dikenal juga mengenai asas
konsensualitas yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah sejak diawali
kesepakatan kedua belah pihak untuk membuat suatu perjanjian. Asas tersebut
diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian
harus memiliki 4 unsur yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu perjanjian, 2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Adanya objek tertentu, dan yang
terakhir 4. Suatu sebab yang halal, syarat nomor 1 dan nomor 2 merupakan syarat
subyektif yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan
syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat obyektif yang jika tidak terpenuhi maka
perjanjian batal demi hukum.
Sepakat yaitu mereka saling setuju untuk mengadakan
pokok-pokok dalam perjanjian, dengan adanya timbal balik misalnya dalam jual
beli penjual menyepakati untuk memberikan tanahnya dan pembeli menyetujui untuk
memberikan sejumlah uang. Cakap dimaksudkan seseorang sudah dikatakan dewasa,
sehat pikirannya sehingga cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal
1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu
perjanjian yaitu orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh dalam
pengampuan. Adanya obyek tertentu merupakan syarat yang harus jelas mengenai
apa yang menjadi obyek dalam perjanjian yang akan dibuat, dan yang terakhir
suatu sebab yang halal merupakan syarat dimana apa yang diperjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarat.
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang
disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak.
Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh
kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa
adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan
pihak yang memikul risiko atas barang tersebut.
Persoalan tentang risiko itu berpokok pangkal pada
terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam
itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan
memaksa” (“Overmacht”, “Force Majeure&rdquo
. Dengan
demikian maka persoalan tentang resiko itu merupakan buntut dari persoalan
tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tidak disengaja dan tak dapat
diduga.
Dalam bab mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian, telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian,
secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada suatu
perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para
pihak untuk meletakan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah
gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim,
karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya,
menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada
kekurangan mengenai syarat subyektif sebagaimana sudah kita lihat, maka
perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat diminta pembatalan
(Canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap
menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah
menjadi cakap) dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui
perjanjian itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal
yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan
karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan
tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya
tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh
dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga
seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban
jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat
subyektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak
mengingini perlindungan hukum tehadap dirinya, misalnya seorang yang oleh
undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul
tanggungjawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seorang
yang telah memberikan persetujuaan karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali
segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai
syarat subyektif itu tidak begitu saja dapa diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan
oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin
sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan
mengenai syarat subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang
berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi
perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat
dimintakan pembatalan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan
kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga
sebab yang membuat perizinan tidak bebas yaitu : Paksaan, Kekhilafan dan
Penipuan. Yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan
jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak
karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi
kalau seorang dipegang tanggannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan
dibawah sepucuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan
disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian
yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak
memberikan persetujuan (perizinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya
seorang yang memberi akan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu
ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak
menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu harus suatu perbuatan yang
terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh
undang-undang, misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak dapat
dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai mungkin, bahwa paksaan
itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan, yang hanya dilakukan
oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah
satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan
tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak khikaf
mengenai hal-hal tersebut, ia akan memberikan persetujuan. Kekhilafan juga
merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk minta pembatalan perjanjian.
Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit harus
sedemikian rupa sehinga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan
seorang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun
tidak dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang khilaf, maka
adalah tidak adil untuk membatalkan perjanjiannya.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan
tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut
yurisprudensi tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai
sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau
suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan
ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak
kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan
sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjian. Dengan sendirinya harus
dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta
pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu
pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Meminta pembatalan itu
oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas
waktu tertentu yaitu lima tahun. Waktu mana mulai berlaku (dalam hal
ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam
hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafan atau
penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang
diajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan.
Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan
perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai
penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara kedua
menunggu sampai ia digugat didepan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Didepan sidang pengadilan itu, ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa
perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun
disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyek perjanjian
atau karena ia ditipu. Dan didepan sidang pengadilan itu ia memohon kepada
hakim supaya perjanjian dibatalkan.
Sumber :
Pieter Latumenten, Bahan Seminar Pemahaman Perubahan
Undang-undang Jabatan Notaris Melalui Pendekatan Ilmu Hukum, Makalah, Pengurus
Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bandung Barat, 29 Januari 2014.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,Jakarta.
Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra
Aditya Bakti.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer (Pendekatan Kontemporer), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,Jakarta,
No comments:
Post a Comment